CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Jumat, 08 Januari 2010

PENTINGNYA MENJADI ANGGOTA OPEC

Thursday, June 05, 2008Pentingkah Menjadi Anggota OPEC
Bersama ini saya posting kan tulisan Mas Wid (Prof. Widjajono), beliau ini dulu yang membuat saya tertarik belajar ekonomi migas. Tulisannya saya posting bukan karena isinya cenderung mengusulkan RI tetap di OPEC. Kalau ada tulisan (bukan sekedar komentar singkat di mass media), yang mempunyai pandangan sebaliknya, apabila diizinkan penulisnya, tentu akan saya postingkan juga.
Buat saya tulisan mas Wid menarik, karena sangat jarang yang melihat dari sudut lain. Anyway, saya personally tidak mau mengatakan penting atau tidak (RI di OPEC), karena apapun jawaban saya pasti akan menimbulkan perdebatan. (Misalnya saya bilang “penting di OPEC”, orang pasti akan mikir, “ya jelas bilang gitu karena ente masih disana”. Kalau saya bilang sebaliknya, orang juga akan bilang: “lha ngapain Anda disana kalau nggak penting..”. Saya mah terserah pemerintah aja, yang mana baiknya.., ibarat orang pacaran: yang penting kepastiannya he he...
----------------------------------------------
Pentingkah Menjadi Anggota OPEC?Oleh: Widjajono Partowidagdo(Guru Besar ITB)
Menjadi anggota perkumpulan apapun, tentunya mempertimbangkan apakah manfaatnya lebih besar dari biayanya. Demikian pula apabila suatu negara menjadi anggota OPEC ( Organization of Petroleum Exporting Countries ) seyogyanya bisa memanfaatkan sebaik-baiknya keberadaanya di OPEC sehingga nilai manfaatnya lebih besar dari iurannya.
Maka pertanyaannya adalah apakah kita sudah memanfaatkan sebaik-baiknya keanggotaan kita di OPEC. Salah satu keuntungan jadi anggota suatu perkumpulan adalah kedekatan dengan anggota-anggota lainnya. Kebanyakan negara anggota OPEC adalah negara yang kaya migas dan kaya uang.
Banyak orang yang tidak kaya ingin masuk sekolah saya di Amerika Serikat, University of Southern California, karena sekolah tersebut dikenal sebagai sekolah anak orang kaya, dengan harapan ingin menjadi kaya. Kalau orang yang tidak kaya ingin dihargai oleh mereka yang kaya sehingga kemudian mereka bekerjasama, tentunya yang tidak kaya harus mempunyai kelebihan, misal lebih pintar, disamping dapat dipercaya.
Sebagai anggota OPEC kita punya kesempatan lebih baik dalam membujuk negara-negara OPEC untuk membangun kilang BBM, petrokimia, LNG, LPG baik di Indonesia maupun di negara-negara OPEC tersebut untuk dimanfaatkan Indonesia dengan dana dari mereka dan bahan baku yang lebih murah dari mereka. Kita dapat pula membujuk negara-negara OPEC untuk menanamkan modal pada Pertamina dan Swasta Nasional untuk mengelola lapangan migas baik di Indonesia maupun di negara-negara OPEC tersebut.
Perlu dicatat bahwa banyak ahli perminyakan Indonesia bekerja di Malaysia dan negara-negara OPEC dan non OPEC. Petronas banyak mendapat dana dari negara-negara anggota OPEC untuk mengoperasikan lapangan di luar negeri dengan mengerjakan ahli perminyakan Indonesia. Kenapa kita tidak menggunakan ahli kita tersebut untuk bekerja di Perusahaan-Perusahaan Migas kita baik di dalam maupun di luar negeri?.
Memanfaatkan semaksimal mungkin keanggotaan kita di OPEC, bukan hanya tugas orang-orang Indonesia yang bekerja di Sekretariat OPEC tetapi juga tugas kedutaan Republik Indonesia di negara-negara OPEC tersebut dan juga tugas Institusi-Institusi terkait seperti Departemen-Departemen ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Keuangan, Perdagangan, Perindustrian, Tenaga Kerja serta Kadin, BKPM, Badan Usaha dan lain-lain disamping diperlukan kebijakan serta iklim investasi yang mendukung.
Seorang rekan, yang pernah menjadi staf di Sekretariat OPEC mengeluh sesudah bersusah payah melakukan lobby di suatu negara anggota OPEC dan berhasil, usaha tersebut tidak berlanjut karena kurangnya koordinasi antar institusi. Ada kelakar bahwa pejabat negeri kita sering tindak-tindak (jalan-jalan) tetapi tindak lanjutnya tidak ada.
Penulis tidak tahu apakah keputusan keluar dari OPEC tersebut sudah final atau belum. Andaikata belum, apakah tidak dipertimbangkan tetap menjadi anggota OPEC tetapi dengan penghematan, misalnya dengan mengurangi pejabat yang mondar-mandir ke Wina.
Hal yang sama, perlu dievaluasi apakah kinerja KBRI di luar negeri sudah optimal atau belum. Penulis pernah mendengar bahwa kedutaan Malaysia di luar negeri lebih sedikit dari KBRI karena suatu kedutaan bisa melayani beberapa negara. Kinerja Malaysia lebih baik bukan hanya karena diplomat-diplomatnya bekerja lebih efektif, tetapi juga karena koordinasi antar instansi pemerintah Malaysia lebih baik karena mempunyai visi yang sama dan birokrasi disana lebih bersahabat bagi investor asing yang mengakibatkan peringkat iklim investasi di Malaysia jauh lebih baik. Menurut Goldman Sachs, 2007 peringkat Malaysia adalah medium risk sedangkan Indonesia adalah very high risk. Ibarat jualan, akan lebih mudah kalau jualan barang bagus.
Indonesia memiliki bung Karno yang mempunyai ide-ide besar seperti Pancasila, Berdikari (Mandiri), Gotong-Royong (Masyarakat Peduli) dan pelopor Production Sharing Contract, tetapi kita lemah dalam implementasi. Pak Jusuf Kalla pernah menyatakan di kediamannya bahwa kita harus Think Big (Berpikir Besar).
Perlu dicatat bahwa Indonesia adalah satu-satunya anggota OPEC di Asia, diluar Timur Tengah. Apabila Indonesia keluar dari OPEC, bukan tidak mungkin Malaysia akan masuk OPEC. Menurut CERA (Cambridge Energy Research Associates), 2007, produksi minyak domestik Malaysia pada tahun 2007 adalah 0,77 juta barel per hari dan diperkirakan akan memproduksi minyak 1,32 juta barel per hari pada 2017. Perlu dicatat Petronas juga mempunyai banyak lapangan di luar negeri, termasuk di negara-negara OPEC dan Malaysia bukan negara pengimpor minyak. Padahal luas Malaysia jauh lebih kecil dari Indonesia, mahasiswa Malaysia dulu belajar perminyakan di ITB, Malaysia meniru Production Sharing Contract Indonesia dan Petronas banyak mempekerjakan ahli perminyakan Indonesia.
Perlu dicatat bahwa Ecuador yang keluar dari OPEC Desember 1992 masuk OPEC kembali Oktober 2007. Produksi Ecuador pada 1995 adalah 395 ribu barel per hari dan pada 2007 adalah 510 ribu barel per hari.
Mohon dipertimbangkan jangan sampai hanya karena menghemat biaya iuran OPEC kita kehilangan potensi manfaat yang lebih besar sebagai anggota OPEC. Hal yang sama, jangan karena kita menghemat cost recovery kita tidak melakukan IOR (Improved Oil Recovery) termasuk EOR (Enhanced Oil Recovery) sehingga produksi di lapangan-lapangan yang sudah ada tidak dapat dipertahankan, apalagi ditingkatkan. Walaupun cost recovery meningkat dari 5,0 milyar dolar pada 2003 ke 5,9 milyar dolar pada 2006 dengan menurunnya produksi minyak dari 1,146 juta barel per hari ke 1 juta barel per hari dan produkasi gas relative tetap 8,3 BSCFPD, tetapi pendapatan meningkat dari 18,2 milyar dolar ke 32,1 milyar dolar serta Penerimaan Negara meningkat dari 10,8 milyar dolar ke 23,1 milyar dolar Perlu dicatat kalau pada Primary Recovery biaya produksi mungkin $5-10 /barel, tetapi dengan EOR biaya produksi bisa diatas $20 /barel. Perlu disadari bahwa apabila harga minyak diatas $100 /barel, EOR pun masih sangat menguntungkan.
Apabila Indonesia sudah memutuskan keluar dari OPEC, kita perlu bekerja lebih baik supaya produksi minyak kita meningkat dengan meningkatnya eksplorasi dan IOR serta program diversifikasi (memakai lebih banyak batubara, panasbumi, Coal Bed Methane, biofuels dan lain-lain) dan konservasi kita berhasil, sehingga kita bisa menjadi net oil exporter dan menjadi anggota OPEC kembali. Untuk itu kita memerlukan kebijakan, peningkatan kemampuan nasional dan kerjasama antar stakeholders di bidang energi yang lebih baik.-----------Riwayat HidupWidjajono Partowidagdo adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Sekretaris Komisi Permasalahan Bangsa Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) serta anggota Tim P3 (Pengawasan Peningkatan Produksi) Migas ESDM. Pernah menjadi Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pemboran, Produksi dan Manajemen Migas pada Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, 2005-2007, Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB, 1993-2004, Pembantu Dekan Urusan Akademis, Fakultas Teknologi Mineral serta Anggota Senat ITB, 1994-1997 dan Koordinator Penelitian Pembangunan Berkelanjutan pada Pusat Antar Universitas untuk Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 1989-1992.
Mendapat Sarjana Teknik Perminyakan ITB, MSc in Petroleum Engineering, MSc in Operations Research, MA in Economics dan PhD dengan disertasi An Oil and Gas Supply and Economics Model for Indonesia dari University of Southern California, Los Angeles, USA. Menulis dua buku yaitu “Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi”, 2002 serta “Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan”, 2004.


http://ekonomi-migas.blogspot.com/2008/06/pentingkah-menjadi-anggota-opec.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar